Pengembangan Kedelai Nasional
Pengembangan ketersediaan kedelai lokal bagi industri dan pengrajin olahan kedelai diperlukan dalam rangka mempersiapkan kedaulatan pangan dan program swasembada kedelai Nasional oleh Pemerintah ditahun 2018. Tanpa disadari sejak tahun 1984 kebutuhan kedelai Nasional dikarenakan permintaan akan kedelai untuk bahan baku pangan di Indonesia yang terutama industri tempe dan tahu yang mengalami kenaikan setiap tahunnya dipenuhi dari kedelai import.
Kedelai import yang dikirim ke Indonesia dari Amaerika sebagian besar sampai di pengrajin sudah tidak segar lagi, tersimpan lama digudang dan bersifat trasngenik ( GMO /Genetically Modified Organism). Sementara kedelai lokal memiliki berbagai keunggulan sebagai komoditi masyarakat petani dibandingkan dengan kedelai import dikarenakan kedelai lokal lebih fresh, lebih murni bersifat non modifikasi genetik/trasngenik, memiliki mutu dan nilai gizi yang lebih baik, dan memiliki rasa dan aroma yang lebih baik. Kedelai lokal juga memiliki keunggulan aspek budidaya yang lebih baik dan ukuran butir biji pada beberapa varietas unggul seperti varietas baluran dan grobogan lebih besar dibanding kedelai import. Rata rata mencapai berat sebesar 117gr / 100 biji, sementara kedelai import hanya sebesar rata rata 114 gr/100 biji.
Kelemahan Kedelai Lokal
Terdapat beberapa kelemahan dalam produksi kedelai lokal petani yang terjadi seperti panen kedelai lokal hingga ke pengrajin masih memerlukan penanganan dari panen, pengeringan hingga sortasi. Panen kedelai ke pengrajin belum tersortasi, masih bercampur dengan ranting campuran kerikil. Kendala ketersediaan kedelai sepanjang tahun dikarenakan kedelai lokal ditanam petani secara musiman dalam 1 tahun dan harga yang rendah pada saat panen yang rata – ratanya diangka Rp 7.500/kg dibandingkan dengan HPP yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar Rp 8.500.
Nilai Ekonomi Kedelai Non GMO
Disamping itu upaya peningkatan nilai ekonomi hasil pasca panen kedelai untuk memberikan peningkatan insentif bagi petani kedelai penting untuk dilakukan melalui pengembangan produksi pengolahan kedelai yang higienis dan menyehatkan dengan berbahan baku kedelai panen petani yang non trasngenik / non GMO yang lebih gurih rasanya, lebih menyehatkan dan aroma kedelai yang lebih baik. Beberapa industri besar seperti PT Otsuka, Melilea, PT Unilever menggunakan kedelai lokal non GMO untuk bahan baku produksinya. Sementara pada sebagian besar pengrajin tahu dan tempe menggunakan kedelai import dikarenakan harganya yang murah dan kemudahan dalam mendapatkan produk kedelai import di pasaran.
Usaha Tani Kedelai
Pada dasarnya usaha tani dipisahkan menjadi tiga pelaku utama usaha yaitu pemasok input, pengolah input menjadi output. Ketiga pelaku merupakan serangkaian aktifitas yang juga dapat dilihat sebagai aktifitas dari hulu ke hilir. Pelaku pada bagian pemasok input meliputi pemasok bahan baku, penyedia bahan penolong, penyedia teknologi dan penyedia jasa. Sedangkan pelaku pada bagian pengolah terdiri dari mereka yang melakukan aktifitas dalam proses produksi utama, penanganan pasca panen, pengemasan dan kegiatan yang berkaitan dengan manajemen mutu. Adapun pelaku pemasar yaitu mereka yang menyampaikan produk secara lansung maupun melalui pihak ketiga kepada konsumen yaitu beraktifitas dalam penanganan penyimpanan, distribusi dan transportasi dan pemasaran ke konsumen atau pelaku industri.
Saluran distribusi ketersediaan dan penggunaan kedelai di Kabupaten Grobogan melibatkan tiga pedagang perantara, yaitu: pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan dan Pedagang Besar. Saluran distribusi dimulai dari petani ke pedagang pengumpul dan pedagang besar. Pedagang besar yang terlibat distribusi kedelai di Kabupaten Grobogan pada umumnya mempunyai fasilitas-fasilitas penyimpanan, pengeringan dan transportasi yang cukup baik (permanen dan mekanis) karena mereka memiliki permodalan yang cukup baik yang diperoleh dari bank dan modal sendiri.
Bantuan untuk Pedagang
Beberapa pedagang perantara desa mendapat modal/pinjaman dari pedagang besar. Pinjaman ini tidak berbunga, hanya pedagang perantara desa yang diberi pinjaman harus menjual kedelai ke pedagang besar tersebut. Di tingkat petani, kedelai dijual ke semua tingkatan pedagang pengumpul , yaitu 43,33 % petani melalui pedagang pengumpul desa, 50% petani melalui pedagang pengumpul kecamatan dan hanya 6,67% petani menjual langsung ke pedagang besar. Sebagian besar petani menjual kedelai melalui perantara baik pedagang desa dan kecamatan.